jelleke-vanooteghem-chuzevDl4qM-unsplash

Mendidik Anak Bersosialisasi Ditengah “Serangan” Media Elektronik

Tim kecil baru berusia 3 tahun. Ia sebenarnya seorang anak yang periang. Namun akhir-akhir ini ia jadi suka marah dan memukul teman-temannya. Rupanya Tim meniru tokoh-tokoh film kartun yang ditontonnya di YouTube dan juga game yang dimainkannya. Ia merasa emosinya bisa diekspresikan dalam bentuk kekerasan ketika ia merasa tidak senang atau terganggu. Jelas dengan sikap perilakunya yang kasar, Tim mulai tidak disukai dan dihindari teman-temannya.

Ron, murid Sekolah Dasar yang pandai. Sayang, ia lebih suka menyendiri dan tidak begitu suka berteman. Ia bisa asyik dengan dirinya sendiri. Rupanya kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya semenjak kecil. Ron sangat gemar bermain dengan game online di rumah. Kini ia bisa asyik sendiri dengan gadget atau laptopnya. Kebetulan ia anak tunggal dan ia tinggal di area perumahan di mana anak-anak jarang bermain bersama.

Hidup di Tengah “Serangan” Media Elektronik

Abad XXI telah melahirkan sebuah generasi yang sangat akrab dengan berbagai media elektronik. Mereka terbiasa hidup dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang canggih dan terus berkembang dengan sangat cepat. Sejak lahir, anak-anak generasi ini sudah dikelilingi beragam alat elektronik, sehingga tablet, handphone, atau smart TV umumnya tak asing bagi mereka.

Beranjak lebih besar, mereka segera akrab dengan media sosial, mulai dari Instagram, TikTok, SnapChat, YouTube, dan banyak lagi yang baru bermunculan. Sehingga tak heran, generasi yang dikenal dengan nama Generation Alpha ini juga diberi sebutan Digital Natives.

Anak-anak generasi ini bertumbuh dengan gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan mereka bergaul akrab dengan teknologi informasi dan komunikasi sejak usia dini. Sejak masa pandemi, kita bahkan melihat anak-anak mulai Kelompok Bermain sudah menggunakan laptop atau handphone untuk proses belajar mereka. Di tingkat Sekolah Dasar, anak-anak akan dapat mengakses berbagai situs di dunia maya untuk mencari dan bertukar informasi, nyaris tanpa batas.

Dalam pergaulan, mereka bisa saja memiliki sangat banyak teman, tetapi di dunia maya. Teman-teman itu bisa satu sekolah atau tinggal satu blok dengan mereka, tetapi bisa juga bermukim di negara lain, bahkan di benua lain. Perbedaan usia bukan kendala, selama mereka punya hobby atau kesenangan yang sama. Dengan kecanggihan yang sama. Dengan kecanggihan teknologi, anak-anak generasi alfa dapat selalu terhubung dengan teman-temannya. Jika mau, mereka bisa saling kontak sebagai teman akrab kapan saja melalui berbagai media elektronik. Bahkan tak jarang mereka bisa sampai lupa waktu.

Memperhatikan “serangan” media elektronik seperti diuraikan di atas, banyak orangtua yang bertanya-tanya bagaimana sebaiknya membimbing anak-anak generasi ini agar mampu bersosialisasi dengan baik. Masalahnya media elektronik modern membuat anak-anak justru cenderung semakin terisolir. Jika sebelumnya orangtua dan anak bisa nonton atau menikmati musik bareng, kini mereka asyik sendiri di kamar masing-masing.

Pengembangan Kompetensi Sosial

Sebagai mahkluk sosial, setiap anak memiliki potensi kompetensi sosial yang perlu ditumbuh kembangkan, agar kelak mampu berinteraksi di tengah masyarakat dengan baik. Di satu sisi, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan tentang standard an nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Di sisi lain, mereka juga perlu mengalami proses pembentukan diri (personal formation) melalui pengembangan perasaan, cara berpikir, bersikap dan berperilaku sesuai dengan keunikan yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada setiap individu.

Tak ada seorang anakpun yang lahir dengan karakter yang telah terbentuk sempurna. Menjadi tugas orangtua, guru dan masyarakat untuk membentuk mereka. Dewasa ini media elektronik juga memberi kontribusi yang tidak kecil dalam pembentukan kompetensi social anak.

Anak-anak usia dini umumnya akan menyerap semua informasi yang mereka terima. Mereka akan cenderung meniru apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Mereka juga belum mampu membedakan apa yang nyata dan apa yang tidak nyata. Dalam pemikiran anak, tokoh-tokoh dalam tayangan di seri kartun sama nyatanya dengan orang-orang yang ada disekitarnya. Tak mengherankan jika ada anak yang beranggapan memukul adik atau temannya bukan hal yang perlu dikhawatirkan, toh adik atau temannya itu akan “bangkit” lagi seperti di dunia kartun.

Kiat Membimbing Anak Bersosialisasi di Era Informasi.

Sebaiknya para orangtua mau belajat mengikuti perkembanagan teknologi media elektronik. Jika perlu belajar dari anak-anak mereka. Hanya dengan cara ini orangtua bisa tetap terus “terhubung” (stay connected) dengan anak-anak sehingga anak-anak mau mendengar nasehat serta memperhatikan bimbingan orang tua, karena orang tua mereka “keren” dan tidak “jadoel”.

Orang tua perlu menanamkan standard an nilai-nilai luhur kehidupan yang dianut keluarga dan masyarakat sejak anak berusia dini. Termasuk didalamnya standar dan nilai-nilai ini adalah kedisiplinan dan rasa tanggung jawab. Mereka perlu dilatih untuk memilih dan menggunakan berbagai media elektronik beserta isinya secara bertanggung jawab agar tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Anak-anak perlu dibimbing untuk mengembangkan kemampuan berinteraksi dengan berbagai kolompok masyarakat dalam kehidupan nyata, tidak hanya dengan orang-orang di dunia maya. Mereka hendaknya diajak dan dilatih agar tidak hanya asyik dengan diri dan dunianya sendiri, tetapi memiliki kepedulian terhadap sesama, mau berbagi dan melayani, bersedia bekerjasama. 

Share this post

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Share on pinterest
Share on print
Share on email