Setiap orang tua pasti menginginkan anak-anaknya kelak akan berhasil dalam kehidupan dan karir mereka. Namun jika kita renungkan lebih mendalam, apakah keberhasilan itu terjadi begitu saja? Bukankah keberhasilan dalam kehidupan dan karir harus diperjuangkan? Bagaimana sebagai orang tua, yang tak mungkin menyertai anak-anak sepanjang masa, kita dapat mempersiapkan mereka agar memiliki daya juang dan kemampuan menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang bisa dipastikan akan selalu datang menghadang?
Dr Carol S. Dweck, seorang peneliti dan psikolog, dalam bukunya yang bestseller berjudul MINDSET – Changing Your Way To Think To Fulfil Your Potential menyebutkan dua tipe manusia yang sangat berbeda dalam menghadapi tantangan kehidupan. Manusia tipe pertama percaya, bahwa semua kekuatan dan kelemahan dalam dirinya dapat diibaratkan batu yang telah dipahat. Ada yang percaya dilahirkan cerdas dan ada yang percaya dilahirkan kurang pintar. Manusia tipe pertama cenderung memiliki FIXED MINDSET. Kelompok manusia dengan Fixed Mindset sibuk membuktikan siapa dirinya, baik sebagai orang yang unggul maupun sebaliknya mencari pembenaran sebagai orang yang penuh kelemahan dan cenderung mengasihani diri sendiri. Tipe yang kedua adalah manusia yang percaya bahwa dalam kehidupan ini, ia harus berani menghadapi resiko dan tantangan. Keberhasilan harus diperjuangkan. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Manusia tipe kedua dapat dipastikan memiliki GROWTH MINDSET. Ia senantiasa mau belajar dari kegagalan dan kesalahan serta berjuang untuk memperbaiki diri. Selain itu ia juga berupaya untuk terus mengembangkan potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Lebih jauh menurut Dweck, pola asuh orang tua ternyata sangat menentukan seorang anak bertumbuh kembang dengan Fixed Mindset atau Growth Mindset. Tentu saja tak kalah pentingnya peran guru sejak jenjang PAUD. Orangtua, sebagai pendidik pertama dan utama dalam hal ini, memiliki peluang yang sangat besar dalam menanamkan benih-benih Fixed Mindset atau Growth Mindset melalui interaksi sehari-hari dengan anak-anak.
Jika orangtua lebih suka memuji dan cenderung lebih menghargai kecerdasan atau keunggulan anak daripada proses belajar atau perjuangannya untuk bisa mencapai sesuatu, maka anak akan memperoleh pesan bahwa semuanya telah ditakdirkan. Mereka akan menghindari tantangan dan seringkali takut membuat kesalahan karena hal itu “mengancam” pandangan orang tentang kehebatan mereka. Begitu pula halnya dengan orangtua yang terlalu mencemaskan kelemahan anaknya dan selalu membanding-bandingkan anak dengan saudara atau teman-temannya yang lain, maka anak akan merasa tak berdaya untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Fixed Mindset akan berkembang dalam dirinya.
Sebaliknya orangtua bisa menanamkan Growth Mindset dalam diri anak sejak dini dengan memberi perhatian dan penghargaan pada setiap perjuangan anak dan kemauannya untuk belajar, walaupun hasilnya belum memuaskan. Dalam hal ini orangtua bertindak seperti coach yang selalu memberikan motivasi dan pendampingan kepada anak agar mau terus berjuang mengembangkan potensi dirinya dan tidak mudah menyerah. Bukankah Firman Tuhan mengajarkan agar kita mendidik anak-anak agar memiliki sikap hamba yang baik dan setia dalam perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30). Masalahnya tidak terletak pada lima, dua, atau satu talenta, namun lebih pada bagaimana kita mendidik anak-anak agar mau mengembangkan semua potensi yang Tuhan berikan melalui belajar dan berjuang. Selamat menanamkan Growth Mindset dalam diri anak sejak dini. Tuhan Yesus Kristus kiranya senantiasa menyertai dan memberkati.
Juni 2021
Takim Andriono, Ph.D.